Jumat, 20 April 2012

tasawuf " wahdatul wujud"

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tasawuf atau Sufisme ( bahasa Arab : تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun zhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Dari berbagai pemahaman dalam ilmu tasawuf ada yang secara langsung membahas ke dasar-dasarnya atau pun secara khusus seperti; tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘Amali, tasawuf falsaffi, Al-wahdat As-syuhud ataupun wujud dan banyak lagi pembahasan lain mengenai ilmu tasawuf.
Kita ambil satu sample pembahasan ilmu tasawuf seperti Paham Kesatuan Wujud, Paham ini berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS:
...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)
Kalau Kita lihat sepintas Sejarah Paham banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam,
Kami disini mencoba membahas pokok persoalan atau pun beberapa pembagian dari ilmu taswuf. Berangkat dari latar belakang di atas kami akan membuat suatu rumusan masalah yang mungkin akan kami bahas dalam pembahasan makalah ini, adapun rumusan masalah tersebut antara lain sebagai berikut:
1.2.Rumusan Masalah 
2.1. Apa pengertian dan tujuan Wahdad Al-Wujud?
2.2. Tokoh Sufi Wahdad Al-Wujud-Insan Kamil dan Ajarannya!
2.3. Pengertian Al-Wahdat As-Syuhud?







BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Dan Tujuan Wahdad Al-Wujud 
Salah satu paham tasawuf yang mengundang kontroversi sangat luas adalah pemikiran tentang wihdatul wujud. Pemikiran kontroversi ini dikemukakan oleh ibnu Arabi[1] sekaligus ia merupakan pemimpin dan pendiri aliran ini. Aliran yang berdiri pada tahun-tahun pertama abad ke-7 H ini berumur lebih kurang dua abad.
Paham Wahdatul wujud dapat dikelompokkan dalam corak tasawuf filosofis. Hal ini karena teori-teori yang dimajukan banyak unsur-unsur filsafatnya, seperti materi awal penciptaan Nur Muhammad (yang dikenal didalam filsafat sebagai materi awal atau akal), dan dua aspek pada setiap benda dalam filsafat, (yang dikenal dengan ide dan bentuk). Adapun unsur tasawufnya terdapat pada pemahaman penyatuan wujud segala sesuatu kepada wujud Allah SWT.
Secara bahasa Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[2] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat di bagi-bagi pada bagian yang lebih kecil.
Adapun mengenai maksud kata “wujud” (being, al-wujud) dan perkataan, “Tuhan Adalah Wujud Mutlak” (Allah huwa al-wujud al-haqq), A.E. Affii Menjelaskan bahwa ada dua pengertian yang berbeda dalam memahami istilah “wujud”.
Pertama, sebagai suatu konsep: ide tentang “wujud” eksistensi (wujud bi al-ma’na al-masdari) atau kedua dapat berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsits/wujud bi al-ma’na maujud).
Jadi, istilah “Wujud Mutlak” (Al-wujud Al-Mutlaq) atau “wujud universal” (Al-Wujud Al-Kulli). Yang digunakan ibnu Arabi dan murid-muridnya adalah menunjukkan suatu realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada.
Pengertian wihdatul yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan oleh sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, karena dalam paham wahdat al-wujud, nasut  yang ada dalam hulul di ubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan paham kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir/ luar /tampak), dan al-batin (dalam, tidak tampak).[3]
Inti ajaran tasawuf Wahdatul wujud diterangkan ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan kebenarannya bergantung pada tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari yang satu (tuhan). Seandainya tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lainpun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Wahdatul Wujud adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.

Menurut paham ini tiap-tiap yang mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-khalq (makhluk) al’arad (accident-kenyatan luar), jahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq. (tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
Aspek terpenting dan dua hal tersebut ialah aspek hak yang merupakan batin jauhar (substance) dan hakekat tiap-tiap yang berwujud. Dan aspek khalaq yang merupakan ‘ard, sesuatu yang mendatang. Karena itulah alam di pandang sebagai cermin bagi tuhan. Semua benda-benda yang ada alam bagaikan gambar pada cermin yang esensinya telah terdapat pada sipat-sifat tuhan.
Sebagai poko persoalan ”Whahdatul Al-wujud” adalah yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu tuhan. Dan wujud selain tuhan adalah bayangan. pemikiran filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep insan kamil atau manusia sempurna. Yang di maksud manusia sempurna menurut Abdul Karim Al-jili (wafat 1428 M) adalah manusia cerminan tuhan atau manusia kopian tuhan.
Insan kamil Artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Umat islam sepakat bahwa di antara manuasia sepakat bahwa diantara manusia, Nabi Muhammad Saw, manusia yang telah mencapai derajad kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya. Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri tuladan bagi para shahabatnya, baik bagi shahabat dekat maupun shabat yang jauh.
Tuhan adalah maha suci, yang maha suci yang tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan mendekatkan diri kepada tuhan sedekat mungkin, dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan tuhan semasih berada dalam hidup ini.[4]
Untuk dapat mencapai macam insan kamil, seseorang lebih senang menempuh cara hidup seorang sufi. kehidupan seoarang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam hidupnya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa di ukur dengan Al-qur’an dan sunnah nabi SAW.
Hasan Al-Basri (21 H-110 H) adalah seorang jahid dan rohanian besar, beliaulah mula-mula memperbincangkan berbagai macam yang berkaitan hidup kerohanian tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.
Hidup sufi merupakan jalan yang di laluai oleh para ahli sufi untuk menyempurnakan hidupnya di hadapa tuhan, namun demikian cara hidup sufi yang dilalui atau di jalani oleh para ahli sufi satu satu lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiah Ad-Dawiah (seorang sufi perempuan) yang telah menghias lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah. Ajaran tasawuf yang di bawanya adalah dikenal dengan istilah “Al-Mahabbah”, atau cinta. Dia hidup dalam keadaan juhud dan hanya ingin berada dekat tuhan. Segala hidupnya di peruntukkan kepada tuhannya dengan sadar dan rasa cinta (Mahabbah).
Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan harapan. Hidup kerohanian beliau di jalani dengan cara hidup zuhud terhadap dunia, menolak akan kemegahannya, semata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf (takut) dan raja (mengharap) keridhaan Allah. Di antara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah “perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik dan perasaan tenterammu dan menimbulkan rasa takut”[5]
Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al-Basri itu di jadikan pedoman bagi seluruh ahli tasawuf dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran Mahabbah yang di bawa oleh rabiah Ad-dawiah merupakan lanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud yang di kembangkan oleh Hasan Al-basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi dari pada takut atau pengharapan.[6]
Lain halnya dengan Hasan Al-Basri dan Rabiah Ad-dawiah. Lain pula dengan zunnun Al-Basri yang hidup tahun 156 H-245 H. selain sebagai seorang sufi, beliau juga seorang filosof. Ajaran tasawuf yang di bawa oleh beliau dikenal dengan istilah Ma’rifat. Menurutnya makrifaf adalah cahaya yang di limpahkan tuhan kedalam hati seorang sufi.
Dalam dunia yang masyarakatnya tempat berkembang seringkali menghadapi problema seperti kesenjangan antara nilai-nilai duniawiyah dengan nilai-nilai ukhwariyah. Dalam situasi demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih mencari ajaran tasawuf yang lebih dapat memadukan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Maka saat-saat kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat untuk mengisolir diri dari masyarakat, tetapi lebih dari itu merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep dan berinovasi untuk kemudian melakukan perubahan sosial dengan acuan Al-qur’an dan Hadits.

2.2.Tokoh Sufi Wahdad Al-Wujud-Insan Kamil dan Ajarannya
            Faham wahdad Al-wujud diajarkan oleh muhy Al-Qin ibnu Arabi. Dia lahir di kota marcia Spanyol pada tahun 1165 M. ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Rusis. Disana dia mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Pada tahun 1202 M ibnu Arabi pergi ke mekkah pada 1240. Negeri-negeri yang pernah dia kunjungi antara lain: Mesir, Syiria, Irak, Turki dan akhirnya dia menetap di damaskus. Di sana dia meninggal dunia pada tahun 1240 M. diantara karya beliau yang terkenal adalah buku dalam bidang tasawuf yang berjudul ”Al-futuhat Al-makkiah” (pengetahuan-pengetahuan yang di bukukan di mekah) dengan tersusun sebanyak dua belas jilid. Buku terkenal lainnya berjudul: ”Futuh Al-hikmah” (permata-permata hikmah).
            Menurut pemikiran tasawufnya, bahwa tuhan ingin melihat diri-nya dari luar diri-nya maka di jadikan-nya alam, alam merupakan cermin bagi tuhan. Pada benda-benda yang ada dalam alam karena esensinya adalah sifat ketuhanannya.,tuhan melihat diri-nya. Disini timbullah paham kesatuan wujud. Yang banyak dalam alam ini hanya dalam penglihatan banyak, pada hakekatnya itu satu. Tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang di letakkakn sekelilingnya. Di dalam setiap cermin ia lihat dirinya. Dalam cermin-cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya hanya satu. Sebagai mana yang di jelaskan dalam Fusus Al-hikam wajah sebenarnya Abu said bin Abil Khair mengatakan bahwa tingkatan Maqam ada empat puluh. Sedangkan Khawajah Abdullah Al-Anshary mengatakan seratus tingkatan. Dan keduanya tidak menyebutkan jumlah tingkatan Ahwal.
            Adapun Tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj dapat di sebutkan sebagai berikut:
a.       Tingkatan Taubat (At-Taubah)
b.      Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’)
c.       Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (Az-Zuhdu)
d.      Tingkatan memfakirkan diri (Al-Fakru)
e.       Tingkatan sabar (As-sabru)
f.       Tingkatan tawakkal (At-Tawakkul)
g.      Tingkatan kerelaan (Ar-Ridha)
Mengenai tingkatan hal (Al-ihwal) menurut Abu Nash As-sarraj, dapat di kemukakan Sebagai berikut:
a.       Tingkatan pengawasan diri (Al-Muraqabah)
b.      Tingkat kedekatan atau kehadiran diri (Al-Qurbu)
c.       Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d.      Tingkatan takut (Al-Khauf)
e.       Tingkatan harapan (Ar-Raja)
f.       Tingkatan kerinduan (Asy-Syauq)
g.      Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu)
h.      Tingkat ketenangan jiwa (Al-itmi’nan)
i.        Tingkat perenungan (Al-Musyahadah)
j.        Tingkat kepastian (Al-Yaqin)

2.3. Pengertian Al-Wahdat As-Syuhud
Konsepsi al-wahdat as-syuhud merupakan ajaran tasawuf yang mirip dengan paham al-wahdat al-wujud oleh karenanya sebagian pengamat berpendapat, bahwa doktrin ini mendapat pengaruh dari Ibn Arabi. Ajaran ini adalah karya mistis dari Umar Ibn Al-Faridh (w.632 H). Sebelum mendalami tasawuf, ia lebih dulu mempelajari hadis secara mendalam,tetapi karena dibesarkan dan dididik dalam suasana keluarga zahid, maka kemudian ia mengkhususkan diri untuk hidup sufistik. Pengalaman-pengalaman spiritualnya,ia tuangkandalam bentuk puisi yang pada umumnya bertemakan cinta Ilahi. Sebagai seorang penyair sufi,ia gemar mengembara dan pernah mukim di Mekah selama lima belas tahun. Ia meninggal di Mesir dan makamnya di al-Qarafa tetap terpelihara dengan baik hingga sekarang.[7]
Menurut ibn al-Faridh, tasawuf bukanlah sekedar ilmu agama dan bukan pula sekedar amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak saja sekedar ma’rifat, tetapi tasawuf adalah ilmu dan amal serta ma’rifat sekaligus. Kemampuan mengartikulasikan tasawuf seperti ini, katanya hanya mungkin dicapai melalui wasilah yang akan membantu seseorang untuk mencapai hakikat ilmu dan amal. Pada kesempatan lain ia menegaskan, tasawuf bertolak dari dua unsure, yakni : pertama,melalui Kasyf dan ilham, dan kedua, melalui amal riadhah dan mujahadah. Puncak dari dua dasar ini adalah mukasyafah dan musyahadah. Beribadah, menjauhkan diri dari yang tidak baik, puasa, menghidupkan malam dengan beribadah, wirid terus-menerus, wara’, qana’ah dan zuhud merupakan susunan al-maqomat yang dilalui oleh Ibn al-Faridh satu persatu. Ia selalu berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh kehidupan duniawi, usaha ini dirasakannya sebagai kebahagiaan yang tinggi nilainya dalam membina cinta Ilahi[8], melalui suluk yang berkesinambungan sampai batas kesanggupan terakhir. Melalui keseriusan beribadah, maka baginya puasa bukanlah hanya menahan diri pada siang hari serta beribadah pada malamnya tetapi puasa itu baginya adalah cinta yang membawa dirinya menyatu dengan yang dicintainya. Dengan demikian, puasa baginya adalah seluruh umurnya, seluruh umurnya adalah untuk berpuasa[9]
            Dalam perjalanan tasawufnya, Ibn al-Faridh di kenal sebagai orang yang memiliki kepekaan perasaan yang sangat mendalam. Apabila ia melihat sesuatu yang indah, maka keindahan itu akan langsung dilihat dan dirasakannya. Bahkan, dalam usahanya untuk mengenal dirinya sebagai seorang sufi, ia mencari dirinya melalui penghayatan perasaan, sehingga ia menemukan dirinya sebagai sesuatu yang lain. Sehubungan dengan hal ini, diceritakan, bahwa pada suatu hari ia berjalan-jalan di pusat kota Kairo, ia bertemu dengan sepasukan tentara yang sedang bermain gendang sambil bernyanyi yang syair lagunya sebagai berikut[10]:
Wahai Gusti, kami “jagongan” mengharap kontak langsung dengan-Mu. Gusti, jangan biarkan kami terlelap dalam buaian lamunan. Gusti, kami percaya “jagongan” kami tiada sia-sia, karena kami di sisi-Mu selalu dan dalam perhatian-Mu senantiasa.inta Ibn al-Faridh berpadu dalam keindahan, terarah khusus kepada pencipta keindahan itu, yakni Allah yang terus bergerak dalam jiwa dan selalu menjadi dambaan kalbu. Desakan cinta dan rindu menjadi daya tarik yang selalu mendesak al-Faridh untuk berusaha dekat dan semakin dekat dengan-Nya. Melalui cinta Ilahi, ia merasa sangat dekat dengan Tuhan dan karenanya ia mengatakan, bahwa keagungan kasihnya kepada Tuhan tiada kasih lain yang dapat mengimbanginya. Ia bersenandung dalam lanjutan syairny:
Tiada arti semua cinta disbanding dengan keasyikan cintaku. Semua orang bercinta adalah prajuritku, Akulah pengambil keputusan dalam hal cinta, segenap anak muda yang tercinta akulah komandannya, dan aku tidak bertanggung jawab terhadap remaja yang linglung, aku menguasai teknik bercinta yang jaminan mutu, dan orang yang tidak mengerti cinta adalah orang dungu.
Oleh karenanya karya-karyanya yang bertemakan cinta, ia digelari sebagai “Sulthan al-Asyiqin” atau si Raja cinta. Melalui latihan dan konsentrasi batin yang teratur, maka cintanya kepada Allah semakin mendalam dan semakin menguasai segenap relung kalbunya sehingga ia dapat merasakan getaran cahaya Tuhan dan akhirnya yang ia rasakan dan ia lihat hanya satu yakni Tang esa. Situasi mistis yang demikian itu disebut wahdat as-syuhud.

Kesatuan dalam terminology Ibn al-Faridh bukan penyatuan dua wujud, yaitu penyatuan dalam arti disaksikan hanya satu, yakni Wujud yang Maha Esa. Pluralitas yang tadinya Nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu “menghadirkan” Tuhan dalam dirinya melalui tajalliyatnya Ilahi. Menurut pemahaman Musthafa Helmi, tajalli dalam konsep Ibn al-Faridh ada dua segi, yaitu: pertama, tajalli secara zhahir yakni melihat Yang Esa pada yang aneka; yang kedua , tajalli secara batin, yakni melihat yang aneka pada yang Esa. Dengan kata lain, barangkali dapat dianalogikan dengan makro dan mikro. Dengan memperhatikan makro kosmos dapat “melihat” mikro kosmos dan sebaliknya. Kepiawaian yang demikian dimungkinkan karena fananya yang asyik mencinta kedalam yang dicinta sehingga ia tenggelam dalam kemanunggalan dan tidak merasakan serta tidak melihat (syuhud) Sesutu selain Allah yang maha tunggal.[11]                       
        Dalam kumpulan syairnya al-Diwan, ia melukiskan proses awal dari fana adalah melihat tuhan secara jelas dan pasti dalam setiap benda yang ia lihat. Bahkan dalam setiap pandangannya kearah mana saja, yang ia lihat hanya tuhan[12]. Pengalaman yang demikian menyebabkan ibn al-Faridh merasa satu dengan yang ia cintai. Dengan sinarnya keakuanku, kata ibn al-Faridh, maka ia menyongsongku disana. Pada saat ia sadar dari fananya, yang tinggal dalam jiwa dan penghayatan hanyalah sang kekasih, yakni Allah. Inilah yang ia maksud dengan melalui fana Ia mengalami kesatuan dengan Allah dan kemudian merasakan cinta yang sejati. Kefanaan bukan keleburan wujud jasmaninya, tetapi kefanaan dari kesadaran dan kemauan serta penanggapan indra keakuannya. Demikian juga dengan penyatuan didalam Tuhan adalah searti dengan tersingkapnya tabir penghalang sehingga zat yang mutlak hadir dalam mata hatinya. Situasi yang demikian bukanlah Sesutu yang tidak mungkin karena si penyair (ibn al-Faridh) sedang dalam kondisi spiritual yang mistis[13]. Dengan demikian semakin jelas terlihat, bahwa konsep wahdat as-syuhud ini berbeda dari doktrin  al-hulul. Sebab, dalam konsep ini penyatuan itu bukan pada subtansi manusia yang melebur ke dalam zat Tuhan, tetapi fananya seluruh yang ada dari kesadaran dan penglihatan sehingga yang nampak ada hanyalah zat Allah yang esa dan karenanya disebut wahdat as-syuhud bukan wahdat al- wujud. Menurut Ibn al-Faridh, bagi mereka yang sudah  menemukan cinta Ilahi yang sejati, wahdat as-syuhud ini dapat di alami dalam  keadaan sadar (al-mahwu) dan atau dalam situasi sakr.
            Apabila dikonfirmasikan dengan ayat-ayat al-Quran, ternyata mencintai Allah merupakan buah dari keimanan dan ketaqwaan, “… Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada allah …” (Q.S. al-Baqarah : 165). Cinta dapat mengurangi beban dosa sehingga akan melapangkan kehidupan, “… jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosamu …” (Q.S. 3 : 31).











[1] Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Dilahirkan di Murcia,Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga pejabat, hartawan, dan ilmuwan. Di seviile (Spanyol), ia mempelajari Al-qur’an, hadist, dan fiqih kepada murid-murid ibn Hazm Azh-Zhahiri, faqih terkenal Andalusia At-Taftazani, op.cit., hal 201. Setelah usia 30 tahun, ia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Dua orang guru yang banyak mempengaruhi ajaran-ajarannya adalah Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin Musyaniah (seorang wali wanita). Ia pernah berjumpa dengan ibnu Rusyd, filosofis muslim dan tabib istana dinasti berbar dari Alomohad, di kordova (Annnmarie Schimml, Mistical Dimensions of islam, terj. Djoko Damono, Pustaka firdaus, 1975, hlm, 272). Dia pun pernah mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi falsafi yang berpengaruh di Andalusia.
       Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah, ditulis tahun 1201 tatkala ia sedang ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq, Masyahid Al-asrar, mathali Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hilyat Al-Abdal, kimiya As-Sa’adat, dll. 
[2] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm.492-494

[3] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.92. 


[4] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press, 1997, hal. 72
[5] Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali press, 1993, hal. 164.
[6] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya, PT. pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, hal. 29.
[7]  Mohd. Musthafachelmi, Ibn al-Faridh wa al-Hubb al-Ilahi, Dar al-Ma’arif Kairo, 1971 : 53-55
[8]  A. kadir Mahmud, op. cit. : 521-522
[9] Mohd. Musthafa helmi, op. cit. : 162
[10] Ibid. : 212
[11]  A. Kadir Mahmud, op. cit. ; 529
[12]  Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islam, Dar al-Tsaqodat, Kairo, 1974 ; 162
[13]  Qomar Kailani, Fi’l Tasawuf al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo,1969 : 152

1 komentar:

  1. kalau saya sih simpel aj , Kalau yg Awal itu Allah , dan yg akhior itu juga Allah maka diantara itu juga Allah

    BalasHapus